Amok:Orogeny — Pameran Tunggal Perdana Rinaldo Hartanto, Seniman dan Pencetak Grafis Berbasis di Bali

 In TAT ART SPACE

Denpasar, Bali – TAT Art Space bekerjasama dengan Rinaldo Hartanto (l. 1988, Magelang, Indonesia), seniman dan pencetak grafis berbasis di Bali; dan Stella Katherine (l. 1992, Jakarta, Indonesia), kurator berbasis di Jakarta, untuk menggelar pameran tunggal bertajuk Amok:Orogeny. Pameran bertujuan sebagai sebuah pengantar untuk memperkenalkan seniman dan praktiknya, termasuk subyek, gaya, dan medium yang digarapnya.

Menampilkan 20 karya cetak, pameran mengusung tema amok, sebuah konsep asal Melayu yang sejak masa kolonial didokumentasikan sebagai fenomena sosial — dari individu yang gelap mata hingga kerusuhan massa. Dalam karya Rinaldo, fenomena ‘mengamuk’ ini digambarkan sebagai gunung meletus pada berbagai tubuh serta figur. Sedangkan kata orogeny mengacu pada pergerakan dan interaksi lempengan-lempengan tektonik, dan menjadi sebuah pengantar akan dimulainya dunia yang tercipta dan tergerakkan oleh amarah.

Lahir dan besar di Jawa Tengah, karya Rinaldo kerap terinspirasi dari referensi visual dan ingatan yang sarat akan peninggalan budaya seperti batik dan wayang, serta kehidupan sehari-harinya. Salah satu ingatan yang mencolok dari pengalamannya adalah keberadaan dan aktivitas Gunung Merapi, yang siklusnya telah turun-temurun mempengaruhi kehidupan dan pergerakan warga di sekitarnya. Kesadaran akan sosok gunung sebagai bagian dari kehidupan dan pergerakan manusia, pun menjadi benang merah yang juga ditemui di lanskap Bali.

Selain itu, beberapa karyanya terinspirasi dari kisah-kisah legendaris, seperti tentang Garuda dan Naga, Lima Angkara, dan Triwikrama. Sebagai contoh, karya Triwikrama merupakan iterasi dari kisah tentang raksasa yang dapat mengelilingi dunia dalam tiga langkah dan menyebabkan kekacauan besar; yang kemudian berdialog dengan karya The Migration dan The Refugees yang menggambarkan pergerakan — yakni perpindahan manusia, dan bersamanya penyebaran ideologi, sebagai dua bilah akibat dari bencana.

Perjalanan tersebut juga bergaung pada karya serta gestur yang terinspirasi dari seniman-seniman pendahulunya, di antaranya seperti pada karya The Attachment – After Toorop dan Burden of Fury – After Jumaadi, yang merupakan tribut terhadap seniman diaspora Indonesia. Penggunaan cetak grafis sebagai pilihan medium utamanya pun tidak lepas dari para pengembangnya dari masa ke masa, dimana karya Sorrow – After Blake merupakan tribut pada William Blake, penyair dan pencetak grafis asal Inggris; dan pengulangan gambar gunung meletus pada setiap figur di karyanya mengacu pada praktik ukiyo-e dan salah satu ahlinya, Katsushika Hokusai yang berulang-ulang menggambar Gunung Fuji pada seri karya Thirty-six Views of Mount Fuji (1830-32).

Sebuah respon kritis terhadap gagasan pameran dihadirkan sebagai karya performans partisipatif oleh Fransisca Retno (l. 1987, Jakarta, Indonesia) bertajuk Sabda Kala, yang ditampilkan pada malam pembukaan pameran (13/10). Karya ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk dari refleksi seniman terhadap pengalaman dan hubungan pribadinya dengan amok — yang melekat dengannya, dipikulnya, dan berdialog dengannya seiring waktu.

Sebagai penghubung dengan karya-karya performansnya sebelum ini, serta praktiknya secara keseluruhan, seniman membingkai amok dalam tatanan yang intim, dan menawarkan sebuah antitesis bagi gagasan tersebut — yang menghadapi dan menyembuhkan.

Dalam sebuah perbincangan yang privat dengan seniman, audiens diundang untuk mengidentifikasi sebuah aspek amok dalam hidupnya, yang dapat terwujud dalam bentuk yang spesifik — impuls, luka batin, rasa bersalah, pengasingan, dsb.; atau terpantik oleh peristiwa tertentu di luar kendali. Tidak ada batas waktu dalam berpartisipasi, maupun informasi yang diceritakan. Interaksi kemudian diterjemahkan dalam sebuah monoprint sebagai bentuk ekspresi yang baru, dimana partisipan akan mendapatkan sebuah salinan artefak yang selanjutnya dapat dibawa, tanggapi, hancurkan, atau tinggalkan.

Sebagaimana amok sebagai konsep dan kata telah melintas dan terserap sebagai kosakata dalam berbagai bahasa asing, demikian pula karya-karya Rinaldo melibatkan beragam preseden pada elemen-elemen karyanya, yang kerap melampaui batas-batas seperti budaya, waktu, dan jarak; dan dengan demikian pula pameran ini diadakan tanpa sebuah kesimpulan, bahkan merupakan undangan bagi para audiens dan praktisi seni dengan bragam latar dan gagasan untuk mengamati, merespon, dan berdialog lebih lanjut mengenai konsep yang luas ini — termasuk sebagai sebuah cerminan akan situasi kontemporer, baik pada skala kolektif maupun pribadi.

Pameran berlangsung selama 13-28 Oktober 2023, dengan rangkaian acara berupa: Malam Pembukaan (13/10); Wicara Seniman (14/10); Studio Terbuka (15/10); dan Lokakarya (21/10). Selain karya, seniman juga memproduksi zine terbatas 50 edisi, serta merchandise berupa patch dan tote bag.

Keberlangsungan pameran ini terwujud dengan dukungan dari para mitra kolaborasi: The Ambengan Tenten dan TAT Art Space, Argos Specialty Coffee, Black Hand Gang, dan Further Reading; serta para sponsor: Chandu Cocktails, Cik Liu, dan Greenman Banana Paper Studio.

Rinaldo Hartanto menuntaskan pendidikan S-1 Desain Komunikasi Visual di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Indonesia (2011); dan S-2 Seni Rupa (Cetak Grafis) di University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia (2016); dan kini bekerja sebagai seniman dan pencetak grafis di studio Black Hand Gang, Bali, Indonesia. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran bersama di Indonesia, Australia, dan Filipina, dan memenangkan penghargaan The Art Scene Canson Paper Award for Printmaking (2015).

 

whatsapp Rent Office Space
whatsapp Rent Office Space